Kamis, 18 Maret 2010

Fenomena Pi, si Bilangan Adikodrati

Berikut ini adalah penggalan-penggalan dari sebuah artikel karya Richard Preston, soerang doktor dari Universitas Princeton dan penulis artikel untuk The New Yorker. Artikel berjudul Gunung Pi ini merupakan tulisan yang unik sekaligus mencengangkan (dalam arti sangat membuka lebar wawasan kita). Di Indonesia tulisan ini diterbitkan oleh Banana Publisher berupa buku Seri Penulisan Kreatif dengan judul cover yang diambil dari judul artikel ini, Gunung Pi. Diterjemahkan oleh Hikmat Darmawan.

(Banyak kata yang bikin kita geleng-geleng.... )


Gunung Pi

“Mungkin di mata Tuhan, pi tampak sempurna,” ujar David Chudnovsky .... (Hal.107)


Anak sekolahan pasti tau bilangan pi atau yang dilambangkan dengan π, kalau dinyatakan dengan angka: 3,14. Sebenarnya udah banyak blog yang membahas tentang pi, tapi gw mau menjelaskan juga tentang hal yang belum pernah dibahas di blog-blog yang pernah gw liat (tentunya berdasarkan artikel terjemahan ini).

Yak, tau kan, kalau bilangan 3,14 itu masih ada lanjutannya? 3,14159265358979323846264338327950288419716939993751 .... (huh, cape deh). Tentu saja masih ada lanjutannya lagi. Tak berhingga. Pi disebut sebagai bilangan adikodrati. Apa itu?


Bilangan adikodrati adalah sebuah bilangan yang ada, tapi tak dapat diungkapkan dalam sebuah rangkaian terbatas dari persamaan aljabar maupun aritmetika apapun. (Hal.107)


Dengan kata lain pi tak bisa dinyatakan dengan rumus. Tidak dengan persamaan apapun. Ia hanya bisa dinyatakan dengan simbol. Simbol yang umum kita gunakan yaitu π. Sebenarnya dulu pertama kali digunakan simbol ð (dari huruf Yunani) oleh William Jones, seorang matematikawan Inggris. Makanya, 22/7 itu sebenarnya ga bisa disebut pi, karena pi bilangan adikodrati.

Oh iya, pi juga disebut bilangan Ludolphian, mengambil dari nama Ludolph Van Ceulen, seorang matematikawan yang menghabiskan sisa hidupnya untuk mendapatkan pi dengan 35 digit di belakang koma. Bagaimana caranya? Beliau menggunakan poligon teratur dengan 96 sisi! Ga kebayang cara ngitungnya ....

Tapi saat dunia sudah mengenal komputer, perhitungan pi dilakukan oleh superkomputer. Bukan komputer biasa lho, tapi superkomputer!


Definisi superkomputer, sederhananya, adalah: salah satu komputer saintifik tercepat dan terkuat di dunia, untuk semasanya. (Hal.120)


Nah, pada abad 19 inilah terjadi balapan pi. Hohoho... para ahli matematika yang bekerja sama dengan perusahaan pembuat superkomputer menggunakan superkomputer itu untuk menemukan pola dalam bilangan pi yang tak berhingga. Awalnya, tahun 1949 George Weitriesner melakukan perhitungan pi sampai dua ribu tiga puluh tujuh tempat desimal dengan ENIAC. Lalu Daniel Shanks dan John W. Wrench Jr. Menghitung sampai seratus ribu desimal dengan sebuah superkomputer mainframe IBM. Ada juga yang dari Jepang, Yasumasa Kanada dari Universitas Tokyo, menggunakan superkomputer NEC mendapatkan dua juta digit pi. Balapan masih terus berlanjut sodara-sodara.... Publikasi terakhir, tahun 1991, David dan Gregory Chudnovsky (kakak adik matematikawan, lho) mendapatkan dua milyar dua ratus enam puluh juta tiga ratus dua puluh satu ribu tiga raus tiga puluh enam tempat desimal (Wuih….!). Mereka pakai superkomputer rakitan sendiri yang diberi nama m zero (jenius bet ga sih...?). Tapi polanya ga ketemu juga ....


Kaum fisikawan mencatat keberadaan pi dimana-mana di alam ini. Pi amat nyata ada pada piringan bulan dan matahari. Sumbu dobel DNA berputar di sekeliling pi. Pi bersembunyi dalam pelangi, dan duduk di pupil mata; dan saat setetes air hujan jatuh ke air, pi akan muncul dalam lingkaran-lingkaran yang dihasilkan tetes itu. (Hal.110)


Memang benar, bentuk lingkaran bisa kita temukan di manapun di alam ini. Itu artinya, pi ada di mana-mana. Bisa dibilang para matematikawan dan ahli fisika sangat memuja pi. Sampai-sampai ada pernyataan seperti ini :


Kebanyakan matematikawan mungkin akan setuju bahwa rasio lingkaran terhadap diameternya (pi) ada secara terang benderang dalam alam yang mengatasi alam kita, dan akan ada bahkan jika benak umat manusia tak menyadarinya; ia mungkin tetap ada bahkan jika Tuhan tak ambil pusing untuk menciptakannya. (Hal.143)


Leopold Kronecker (seorang matematikawan senior yang berpengaruh) pernah berkata dalam sebuah ucapan tekenal, ”Tuhan menciptakan bilangan bulat, dan selebihnya adalah pekerjaan manusia.”

.... dan hari ini perdebatan apakah bilangan adikodrati itu karya Tuhan atau karya manusia telah menepi – para matematikawan telah memutuskan untuk bekerja pada bilangan-bilangan adikodrati , tak peduli siapapun penciptanya. (Hal. 152)


Hmm .... Allah menciptakan bilangan-bilangan melalui otak manusia yang Dia ciptakan juga, itu pendapat gw.

Tapi memangnya bilangan adikodrati itu ga cuma pi saja ya? Belum tau yang lainnya....


(Bilangan adikodrati itu beda dengan bilangan irasional lho. Contohnya akar kuadrat dari 2. Akar kuadrat dua bukan bilangan adikodrati, karena ia dapat ditemukan dalam sebuah persamaan. Ia adalah penyelesaian (akar) dari sebuah persamaan : x2 = 2, dan hasilnya adalah akar kuadrat dua (mengerti tak?). Bilangan itu disebut bersifat aljabar. Ingat, pi ga bisa dinyatakan dengan aljabar, karena aljabar itu terbatas.)


Peace!

Romantisme Alam


Penggalan kisah ini juga diambil dari kumpulan cerita ’Pengarang Telah Mati’ karya Sapardi Djoko Damono (lihat judul posting 'Pengakuan sang Adam' ya).
Di sini sang tokoh seolah-olah 'jatuh cinta' kepada air sungai yang jernih. Dia mencintainya seperti seorang kekasih. Hmm..., aneh, tapi keren banget!

>> Sungai

Begitu muncul dari mata air, ia harus turun mencari jalannya sendiri, meliuk-liuk, terus bergerak agar dianggap sebagai sungai. Ia tidak berhak naik. (Paragraf 1)

Dan jika disebut kata sungai, berarti menunjuk pada dua hal, yaitu air dan tempat alirannya. Air yang mengalir dari suatu mata air menuju laut disebut sungai. Dan sudah menjadi hukum alam bahwa sifat air adalah mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah (nggak mungkin bisa naik kecuali disedot, ya kan?).

Aku, terutama sekali, suka diam-diam terpesona oleh gemuruh suaranya ketika ia harus terjun dari ketinggian ratusan meter – itu mengingatkanku pada beberapa penggal sampak dalam gending Jawa dan simfoni Beethoven. …. Aku diam-diam mengagumi suara riciknya ketika ia bernyanyi menghindari bebatuan, disaksikan oleh pohonan rindang yang suka tumbuh di sepanjang tepinya. (Paragraf 3)

Personifikasi yang sangat bagus kan? Bisa dibilang romantismenya sungguh terasa. Suara air yang dibandingkan dengan gending Jawa dan simfoni Beethoven, uhhhh... (terpesona)
Itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan kata-kata di paragraf selanjutnya nih :

Sampai pada suatu waktu ketika kami harus menyeberangi sebuah padang pasir. Ia tampak bingung, gamang. .... aku akan lenyap meninggalkanmu, katanya. Tidak, kau akan menyusup di bawah samudra pasir itu dan tidak lenyap, kataku seperti seorang sufi. .... Untuk itu aku harus menggali dan terus menggali, tanpa putus asa, agar bisa mencapainya jauh di bawah sana. Hanya dengan begitu ia bisa muncrat ke atas dan menjelma genangan air kecil; wujud cinta kami. (Paragraf 4)

Ternyata kecintaan kita pada alam bisa dinyatakan juga dengan kata-kata puitis yang biasa dipakai saat membuat puisi cinta buat yayang.
Yeah! Go Green!

Rabu, 17 Maret 2010

Pengakuan sang 'Adam'

Penggalan kisah singkat berjudul Adam ini diambil dari buku kumpulan cerita ’Pengarang Telah Mati’ karangan Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan oleh IndonesiaTera cetakan tahun 2005.

Dalam cerita singkat ini Sapardi Djoko Damono mengisahkan dirinya sebagai isi pikiran seorang Adam, bapak dari semua umat manusia. Menurut gw cerita ini sangat cerdas dan menggugah pemikiran kita tentang sejarah Nabi Adam, tanpa menimbulkan hal-hal yang kontroversial.


ADAM

Seperti yang telah engkau pelajari, aku ini debu yang ditiup dengan nyawa agar hidup dan menjelma manusia. (Paragraf 2)


Manusia diciptakan dari tanah, dengan kata lain sekumpulan debu. Setuju tidak...? Tapi apa pernah ada yang mempertanyakan hal ini :


Kenapa dari debu? Dan tidak dari bunga, misalnya?


Kenapa? Bukan sekedar arti kehidupan yang dipandang dari sisi psikologis, tapi ternyata dari segi fisik pun bisa muncul pertanyaan semacam ini. Pernah kepikiran hal ini? Sampai bingung-bingung? Namun dalam kalimat selanjutnya sang tokoh menjawab sendiri pertanyaannya itu.


Aku ini diciptakan, karenanya tidak pernah merasa punya hak untuk mempertanyakan yang bukan-bukan, yang sudah terlanjur dilaksanakan.


Jawaban yang sederhana, tapi sangat mengena.

Di paragraf selanjutnya kita dihadapkan pada perjalanan waktu manusia, yaitu masa lalu dan masa depan. Maknanya dalem banget. Filosofis.


Setiap manusia punya masa lalu. Tetapi apakah debu itu masa lalu? Kalau debu itu dianggap sebagai masa lalu, itu artinya aku tidak punya masa lalu. Dan kalau tidak punya masa lalu, apakah aku bisa punya masa depan? (Paragraf 3)


Sampai di bagian ini, gw cuma bisa ngangguk2 tanda setuju, sambil kebingungan (???). Tapi setelah baca lanjutan kalimatnya, gw jadi merasa bego sambil nepuk jidat.


Mungkin sekali debu itu jugalah masa depanku.


Iya ya, manusia kan kalau mati jadi tanah/debu lagi....

Nah, di paragraf selanjutnya yang paling menarik dan cukup (ehm) romantis. Sebenarnya di bagian ini diajukan pertanyaan yang tidak asing lagi, atau mungkin sebagian dari kita menganggap hal ini tidak penting?


....kenapa aku ditendang dari Firdaus. Jika kujawab bahwa itu disebabkan oleh ibumu, itu sama sekali tidak adil. (Paragraf 4)


Ya. Betul, betul. Nggak adil. (Kaum wanita boleh berbangga hati nih. Karena selama ini wanita selalu disalahkan atas kehancuran hidup kaum pria :) ) Baca selanjutnya:


Bagaimana bisa makhluk yang kucintai setengah mati itu, yang tentunya juga mencintaiku, menjerumuskanku ke dunia?

Apalagi jika kujawab bahwa hukuman bagi pelanggaran larangan memakan buah khuldi itu merupakan sesuatu yang berlebihan. Aku tidak boleh menilainya seperti itu. Sama sekali.


Hmm.... Lalu salah siapa? Ibliskah? Bukan. Di akhir cerita sang tokoh memberikan jawaban yang...., cukup memuaskan.


Ketika aku ikut makan buah yang disodorkan ibumu, aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menjadi pahlawan atau apa. Aku juga sebesar zarahpun tidak membayangkan, sungguh, bahwa cintaku kepada Hawa ternyata telah membuatmu mau tidak mau harus tinggal di dunia. Aku minta maaf. (Paragraf 8)


Puas tak?